Minggu, 03 Maret 2013

Proses Perumusan Pancasila Sebagai Dasar Negara RI



Proses Perumusan Pancasila Sebagai Dasar Negara RI

Pada akhir Perang Dunia II, Jepang mulai banyak mengalami kekalahan di mana-mana dari Sekutu. Banyak wilayah yang telah diduduki Jepang kini jatuh ke tangan Sekutu. Jepang merasa pasukannya sudah tidak dapat mengimbangi serangan Sekutu. Untuk itu, Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia agar tidak melawan dan bersedia membantunya melawan Sekutu.


Pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

Jepang meyakinkan bangsa Indonesia tentang kemerdekaan yang dijanjikan dengan membentuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan itu dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Junbi Cosakai. Jenderal Kumakichi Harada, Komandan Pasukan Jepang untuk Jawa pada tanggal 1 Maret 1945 mengumumkan pembentukan BPUPKI. Pada tanggal 28 April 1945 diumumkan pengangkatan anggota BPUPKI. Upacara peresmiannya dilaksanakan di Gedung Cuo Sangi In di Pejambon Jakarta (sekarang Gedung Departemen Luar Negeri). Ketua BPUPKI ditunjuk Jepang adalah dr. Rajiman Wedyodiningrat, wakilnya adalah Icibangase (Jepang), dan sebagai sekretarisnya adalah R.P. Soeroso. Jumlah anggota BPUPKI adalah 63 orang yang mewakili hampir seluruh wilayah Indonesia ditambah 7 orang tanpa hak suara.


Suasana Sidang BPUPKI


Masa Persidangan Pertama BPUPKI (29 Mei–1 Juni 1945)

Setelah terbentuk BPUPKI segera mengadakan persidangan. Masa persidangan pertama BPUPKI dimulai pada tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan 1 Juni 1945. Pada masa persidangan ini, BPUPKI membahas rumusan dasar negara untuk Indonesia merdeka. Pada persidangan dikemukakan berbagai pendapat tentang dasar negara yang akan dipakai Indonesia merdeka. Pendapat tersebut disampaikan oleh Mr. Mohammad Yamin, Mr. Supomo, dan Ir. Sukarno.

Mr. Mohammad Yamin

Mr. Mohammad Yamin menyatakan pemikirannya tentang dasar negara Indonesia merdeka dihadapan sidang BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945. Pemikirannya diberi judul ”Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik
Indonesia”. Mr. Mohammad Yamin mengusulkan dasar negara Indonesia merdeka yang intinya sebagai berikut:

  1. peri kebangsaan;
  2. peri kemanusiaan;
  3. peri ketuhanan;
  4. peri kerakyatan;
  5. kesejahteraan rakyat.

Mr. Supomo

Mr. Supomo mendapat giliran mengemukakan pemikirannya di hadapan sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945. Pemikirannya berupa penjelasan tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan dasar negara Indonesia merdeka. Negara yang akan dibentuk hendaklah negara integralistik yang berdasarkan pada hal-hal berikut ini:

  1. persatuan;
  2. kekeluargaan;
  3. keseimbangan lahir dan batin;
  4. musyawarah;
  5. keadilan sosial.

Ir. Sukarno

Pada tanggal 1 Juni 1945 Ir. Sukarno mendapat kesempatan untuk mengemukakan dasar negara Indonesia merdeka. Pemikirannya terdiri atas lima asas berikut ini:

  1. kebangsaan Indonesia;
  2. internasionalisme atau perikemanusiaan;
  3. mufakat atau demokrasi;
  4. kesejahteraan sosial;
  5. Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kelima asas tersebut diberinya nama Pancasila sesuai saran teman yang ahli bahasa. Untuk selanjutnya, tanggal 1 Juni kita peringati sebagai hari Lahir Istilah Pancasila.


Masa Persidangan Kedua (10–16 Juli 1945)

Masa persidangan pertama BPUPKI berakhir, tetapi rumusan dasar negara untuk Indonesia merdeka belum terbentuk. Padahal, BPUPKI akan reses (istirahat) satu bulan penuh. Untuk itu, BPUPKI membentuk panitia perumus dasar negara yang beranggotakan sembilan orang sehingga disebut Panitia Sembilan. Tugas Panitia Sembilan adalah menampung berbagai aspirasi tentang pembentukan dasar negara Indonesia merdeka. Anggota Panitia Sembilan terdiri atas Ir. Sukarno (ketua), Abdulkahar Muzakir, Drs. Moh. Hatta, K.H. Abdul Wachid Hasyim, Mr. Moh. Yamin, H. Agus Salim, Ahmad Subarjo, Abikusno Cokrosuryo, dan A. A. Maramis. Panitia Sembilan bekerja cerdas sehingga pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil merumuskan dasar negara untuk Indonesia merdeka. Rumusan itu oleh Mr. Moh. Yamin diberi nama Piagam Jakarta atau Jakarta Charter.

Pada tanggal 10 sampai dengan 16 Juli 1945, BPUPKI mengadakan sidang kedua. Pada masa persidangan ini, BPUPKI membahas rancangan undang-undang dasar. Untuk itu, dibentuk Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang diketuai Ir. Sukarno. Panitia tersebut juga membentuk kelompok kecil yang beranggotakan tujuh orang yang khusus merumuskan rancangan UUD. Kelompok kecil ini diketuai Mr. Supomo dengan anggota Wongsonegoro, Ahmad Subarjo, Singgih, H. Agus Salim, dan Sukiman. Hasil kerjanya kemudian disempurnakan kebahasaannya oleh Panitia Penghalus Bahasa yang terdiri atas Husein Jayadiningrat, H. Agus Salim, dan Mr. Supomo. Ir. Sukarno melaporkan hasil kerja Panitia Perancang Undang-Undang pada sidang BPUPKI tanggal 14 Juli 1945. Pada laporannya disebutkan tiga hal pokok, yaitu pernyataan Indonesia merdeka, pembukaan undang-undang dasar, dan undang-undang dasar (batang tubuh). Pada tanggal 15 dan 16 Juli 1945 diadakan sidang untuk menyusun UUD berdasarkan hasil kerja Panitia Perancang Undang-Undang Dasar. Pada tanggal 17 Juli 1945 dilaporkan hasil kerja penyusunan UUD. Laporan diterima sidang pleno BPUPKI

Pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

Pada tanggal 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan Jepang. Untuk menindaklanjuti hasil kerja BPUPKI, Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Lembaga tersebut dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Junbi Iinkai. PPKI beranggotakan 21 orang yang mewakili seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Mereka terdiri atas 12 orang wakil dari Jawa, 3 orang wakil dari Sumatera, 2 orang wakil dari Sulawesi, dan seorang wakil dari Sunda Kecil, Maluku serta penduduk Cina. Ketua PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, menambah anggota PPKI enam orang lagi sehingga semua anggota PPKI berjumlah 27 orang.

PPKI dipimpin oleh Ir. Sukarno, wakilnya Drs. Moh. Hatta, dan penasihatnya Ahmad Subarjo. Adapun anggotanya adalah Mr. Supomo, dr. Rajiman Wedyodiningrat, R.P. Suroso, Sutardjo, K.H. Abdul Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Oto Iskandardinata, Suryohamijoyo, Abdul Kadir, Puruboyo, Yap Tjwan Bing, Latuharhary, Dr. Amir, Abdul Abbas, Teuku Moh. Hasan, Hamdani, Sam Ratulangi, Andi Pangeran, I Gusti Ktut Pudja, Wiranatakusumah, Ki Hajar Dewantara, Kasman Singodimejo, Sayuti Melik, dan Iwa Kusumasumantri.

Proses Penetapan Dasar Negara dan Konstitusi Negara

Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan sidangnya yang pertama. Pada sidang ini PPKI membahas konstitusi negara Indonesia, Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, serta lembaga yang membantu tugas Presiden Indonesia. PPKI membahas konstitusi negara Indonesia dengan menggunakan naskah Piagam Jakarta yang telah disahkan BPUPKI. Namun, sebelum sidang dimulai, Bung Hatta dan beberapa tokoh Islam mengadakan pembahasan sendiri untuk mencari penyelesaian masalah kalimat ”... dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada kalimat ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tokoh-tokoh Islam yang membahas adalah Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, K.H. Abdul Wachid Hasyim, dan Teuku Moh. Hassan. Mereka perlu membahas hal tersebut karena pesan dari pemeluk agama lain dan terutama tokoh-tokoh dari Indonesia bagian timur yang merasa keberatan dengan kalimat tersebut. Mereka mengancam akan mendirikan negara sendiri apabila kalimat tersebut tidak diubah. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, dicapai kesepakatan untuk menghilangkan kalimat ”... dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Hal ini dilakukan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kita harus menghargai nilai juang para tokoh-tokoh yang sepakat menghilangkan kalimat ”.... dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Para tokoh PPKI berjiwa besar dan memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Mereka juga mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. Adapun tujuan diadakan pembahasan sendiri tidak pada forum sidang agar permasalahan cepat selesai. Dengan disetujuinya perubahan itu maka segera saja sidang pertama PPKI dibuka.

Perbedaan dan Kesepakatan yang Muncul dalam Sidang PPKI

Pada sidang pertama PPKI rancangan UUD hasil kerja BPUPKI dibahas kembali. Pada pembahasannya terdapat usul perubahan yang dilontarkan kelompok Hatta. Mereka mengusulkan dua perubahan.

Pertama, berkaitan dengan sila pertama yang semula berbunyi ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kedua, Bab II UUD Pasal 6 yang semula berbunyi ”Presiden ialah orang Indonesia yang beragama Islam” diubah menjadi ”Presiden ialah orang Indonesia asli”. Semua usulan itu diterima peserta sidang. Hal itu menunjukkan mereka sangat memperhatikan persatuan dan kesatuan bangsa. Rancangan hukum dasar yang diterima BPUPKI pada tanggal 17 Juli 1945 setelah disempurnakan oleh PPKI disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. UUD itu kemudian dikenal sebagai UUD 1945. Keberadaan UUD 1945 diumumkan dalam berita Republik Indonesia Tahun ke-2 No. 7 Tahun 1946 pada halaman 45–48.

Sistematika UUD 1945 itu terdiri atas hal sebagai berikut.
  • Pembukaan (mukadimah) UUD 1945 terdiri atas empat alinea. Pada Alenia ke-4 UUD 1945 tercantum Pancasila sebagai dasar negara yang berbunyi sebagai berikut. 

Pancasila
  1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Persatuan Indonesia.
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


  • Batang tubuh UUD 1945 terdiri atas 16 bab, 37 pasal, 4 pasal aturan peralihan, dan 2 ayat aturan tambahan
  • Penjelasan UUD 1945 terdiri atas penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.

Susunan dan rumusan Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan perjanjian seluruh bangsa Indonesia. Oleh karena itu, mulai saat itu bangsa Indonesia membulatkan tekad menjadikan Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.




Fitnah

Makalah Fitnah


A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam. Ia menempati posisi istimewa dalam kehidupan umat Islam. Para ulama berusaha semaksimal mungkin menyesuaikan diri dan mencontoh serta mempraktekan nilai-nilai ideal yang diajarkan oleh al-Qur’an tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Tidak berlebihan jika dikatakan, umat Islam tidak mungkin dipisahkan dari sumber ajaran agamanya itu.
Pada aspek mengkaji, al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang mendapatkan perhatian luar biasa dari komunias ilmuan, baik yang muslim maupun non muslim. Hal ini terbukti dengan lahirnya karya-karya tafsir al-Qur’an yang jumlahnya ribuan. Karya tafsir al-Qur’an masih terus mengalir hingga hari ini. Hal ini juga menjadi bukti bahwa tafsir al-Qur’an bukan dominasi orang-orang shaleh zaman dulu, seperti yang kita ketahui dalam sejarah penafsiran al-Qur’an.
Sejarah penafsiran al-Qur’an adalah Islam itu sendiri. Artinya perjalanan sejarah tafsir al-Qur’an sudah sama tuanya dengan sejarah perjalanan Islam sebagai agama, sehingga antara keduanya jadi identik dan tak terpisahkan. Aktifitas penafsiran sudah barang tentu dimulai semenjak Nabi Muhammad Saw. Menyampaikan risalah Tuhan yang datang dalam bentuk al-Qur’an. Sebagai pembawa risalah maka Nabi Muhammad harus faham dan mengerti terlebih dahulu atas pesan wahyu yang harus disampaikan kepada umatnya ketika sasaran wahyu (umat) menghadapi kesulitan tertentu dalam memahami teks wahyu. Jadi, tugas penasiran merupakan bagian integral dari tugas risalah.
Keragaman tafsir sekurang-kurangnya disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut: pertama, factor kebahasaan. Di dalam al-Qur’an akan ditemukan kata-kata yang memiliki makna (lafadz) ganda, makna umum, makna khusus, makna sulit (musykil) dan sebagainya. Kedua, factor ideology poitik, ketiga, factor madzhab pemikiran dan yang keempat adalah subyektifisme mufasir, yakni adanya pra-anggapan, pra-asumsi, jenis kelamin, latar pendidikan dan lingkungan mufasir yang turut mewarnai langgam tafsir yang disusun.
Terhadap keempat faktor di atas, tak ada seorngpun yang mengingkarinya. Oleh karena itu, paparan di atas makin menegaskan bahwa tafsir merupakan dialog terus-menerus antara teks suci, penafsiran dan lingkugan sosial-politik-budaya yang ada di sekitarnya. Tafsir ini tercipta pada ruang dan waktu yang berbeda-beda yang mengakibatkan munculnya pemaknaan atas satu teks berbeda dengan yang lainnya. Makalah ini menyajikan sebuah penafsiran yang mengulas tentang lafadz “fitnah” dalam al-Qur’an. Fitnah mempunyai bermacam-macam makna yang berbeda, sehingga pembahasan ini dirasa perlu untuk mengetahui derivasi makna fitnah yang digunakan dalam al-Qur’an. Dalam pembahasan ini lebih banyak mengambil penafsiran al-Razi, karena dirasa telah memberikan penafsiran yang mumpuni dan dapat dijadikan sebagai pijakan dalam memahami suatu lafadz dalam al-Qur’an. Meskipun dalam makalah ini hanya mengulas satu tafsir lafadz fitnah, namun setidaknya lewat kajian ini akan merangsang pembaca untuk mencermati dan mengkaji tafsir-tafsir lafadz lain yang beragam jenisnya.

B. Pengertian Fitnah
Ulasan kata fitnah akan kita jumpai maknanya yang amat luas dan beragam. Kata fitnah adalah bentuk masydar dari kata fatana – yaftinu – fatnan atau fitnatan yang secara semantik sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi al-Qur’an berarti memikat, menggoda, membujuk, menyesatkan, membakar, menghalang-halangi. Kemudian kata ini berkembang maknanya menjadi cobaan, bala’, siksaan, sesat dan juga dimaknai gila. Bentuk jamak dari kata fitnah adalah al-Fitan. Dalam kamus Arab al-ta’rifat dijumpai, bahwa kata fatana selalu dicontohkan dengan kalimat “Seorang pandai emas membakar logam emas untuk membersihkan dan mengetahui kadarnya”. Dari sini kemudian maknanya secara umum berkembang lebih luas lagi sehingga diartikan menguji (menguji untuk mengetahui kialitas sesuatu). Maka dari itu, untuk kata fitnah bisa berarti pembakaran, kekacauan, kegilaan, ujian, cobaan, godaan, pesona atau sesuatu yang memikat. Selanjutnya tukang emas dikatakan dengan al-Fattan (الفتان ) sebab ia melebur emas dengan api, dan darinya dibuatlah berbagai macam perhiasan dalam berbagai bentuk. Dengan api pula ia dapat mengetahui mana emas yang benar-benar asli dan yang palsu/campuran.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan, kata fitnah adalah perkataan bohong atau tanpa dasar kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang lain, seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang, dan lain-lain. Dengan demikian, kata fitnah sering diartikan dengan makna yang negative dan nampak secara definitif makna kata fitnah amat terbatas hanya menyangkut perkataan saja, sementra perlakuan yang tidak manusiawi, berbuat dzalim terhadap orang lain, teror, eksploitasi, penganiayaan dan sebagainua, semua tidak dikategorikan ke dalam arti kata fitnah dalam bahasa Indonesia. Dari sinilah perbedaan arti bahasa Indonesia dengan al-Qur’an.
Kata fitnah dan derivasinya disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 60 kali dalam 33 surat. Quraish Shihab menggunakan kata fitnah dengan arti ‘kedzaliman’. Dalamal-Qur’an suratal-Buruj [85]: 10, ditegaskan bahwa orang-orang yang enggan brtaubat dari tindakan mendzlimi atau menganiaya kaum muslimin akan merasakan siksaan neraka jahanam. Bahkan, orang-orang mukmin diperintahkan untuk memerangi kedzaliman itu, yaitu menghilangkan peganiayaan dan kedzaiman antar sesama. Kemudian dalam Qs.al-Baqarah[2]: 191, disana penggunaan kata fitnah dengan pengertian “membakar secara mutlak”, yaitu membakar orang-orang yang melakukan perbatan dosa di api neraka (Qs. Az-Zariyyat[51]: 13). Ada juga fitnah yang berarti “siksaan” atau “hukumam” misalnya digunakan dalam Qs. Al-Anfal[8]: 25, yang menjelaskan bahwa orang mukmin bertangung jawab atas terpeliharanya akhlak sosial sehingga tidak turun siksaan Tuhan. Kalau siksan itu tiba, maka tidak hanya menimpa pada orang-orang dzalim saja, tetapi merata menimpa semuanya baik yang berbuat dzalim atau tidak.
Kata fitnah yang berarti “cobaan atau ujian” terhadap keimanan seseorag pada umumnya bermacam bentuknya, diantaranya:
1. anak dan harta, dalam Qs. at-Taghabun[64]:15 dijelaskan bahwa anak dan harta yang dimiliki seseorang dapat menjauhan pemiliknya dari sifat taqwa;
2. kebaikan dan keburukan, kebaikan yang berupa kesehatan, kekayaan dan kepandaian ataupun penderitaan karena kemiskinan, penyakit dan tekanan, semuanya merupakan cobaan keimanan seseorang (Qs. al-Ambiya’[21]: 35 dan Qs. an-Nahl[16]: 110;
3. ilmu sihir, (Qs. al-Baqarah [2]: 102) dan yang sejenis dengan itu, karena ilmu sihir dapat menyengsarakan orang lain dan menjatuhkan dirinya kepada kekafiran;
4. kedzaliman dan kekacauan yang mengancam kaum muslimin (Qs. al-Baqarah [2]: 217)
5. kenikmatan hidup bhagia juga dinamakan fitnah, sebagaimana dalam Qs. az-Zumar [39]: 49;
6. godaan dan pengaruh-pengaruh luar yang dapat mengarahkan orang untuk mengikuti hawa nafsu dan bertindak melanggar ketentuan Allah (Qs. al-Maidah [5] :48-49)
Kata fitnah sebelum mengalami perkembangan makna dan penafsiran yang lebih luas seperti yang telah dipaparkan di atas, dasar makna kata itu secara semantik adalah cobaan dan ujian.

C. Macam-macam Makna Fitnah
Pengertian fitnah yang sangat beragam sebagaimana tersebut di atas, tidak menutup kemungkinan akan memunculkan interpretasi lain, seperti dalam tafsir al-Razi dantafsir-tafsir lain. Maka dari itu di bawah ini kita akan melihatbagaimana penafsiran mufasir mengenai fitnah.
1. Fitnah Bermakna Ujian dan Cobaan
Dalam tafsir al-Razi frase fitnah banyak mengacu pada makna cobaan atau ujian, diantaranya ada yang menunjukkan berupa nikmat maupun kesulitan. Bentuk fitnah dari segi materi bisa meliputi suami, istri, anak, harta, wanita. Sedangkan dari segi non materi mecakup tipudaya, setan, malaikat, kenyamanan, kematian, jabatan, kenabian, rahmat, rizki, sosial, hukum dan lain sebagainya. Ayat yang menjelaskan hal ini adalah Qs. al-A’raf[7]: 27:

   •      •                       
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia Telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya kami Telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman.”

Menurut al-Razi fitnah di sini ujian atau cobaan (الابتلاء و الامتحان), penggalan firman-Nya:  •  maksudnya menjadi sebab kamu tidak masuk surga sebagaimana setan memperdaya nenek moyang kamu sehingga mereka tergelincir keluar dari surga.
Ada pula kata fitnah dalam al-Qur’an yang kandungannya memuat kisah para Nabi dan umatnya seperti peristiwa Nabi Sholeh as yang berdakwah kepada kaum Tsamud, dan Allah memberi mukjizat kepada beliau.

 •   •           
“Mereka menjawab: "Kami mendapat nasib yang malang, disebabkan kamu dan orang-orang yang besertamu". Shaleh berkata: "Nasibmu ada pada sisi Allah, (bukan kami yang menjadi sebab), tetapi kamu kaum yang diuji". (Qs. an-Naml [27]: 47)

Ayat di atas menjelaskandua umat Nabi Sholeh as yang berseteru dalam menjawab ajakan Nabi menyembah Allah Yang Maha Esa.

2. Fitnah Bermakna Kufur dan Syirik
Al-Razi juga menafsirkan kata fitnah dengan makna syirik dan kufur. Sebagaimana penasirannya dalam Qs. al-Baqarah [2]: 217

                                                           •     
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah, dan berbuat fitnah itu, lebih besar (dosanya) dari pada membunuh. mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”

Frase fitnah yang dimaksud dalam ayat ini, al-Razi mempunyai dua penafsiran. Pertama, kufur (كفر) “kufur itu lebih kejam daripada pembunuhan”. Kedua, penyiksaan (تعذيب) yang dilakukan oleh keum musyrikin di Mekkah seperti perlakuan kejam mereka terhadap beberapa seorang sahabat. Dalam hal ini ia cenderung memaknai fitnah dengan cobaan (امتحان), kemudian berkembng menjadi semua makna yang merupakan sarana pengujian.
Ayat lain yang mempunyai redaksi mirip dengan ayat di atas adalah Qs. al-Baqarah [2]: 191

                             
“Dan Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka Telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka Bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.”

Fitnah lebih kejam (keras) dari pada pembunuhan seperti yang dijelaskan sebelumnya, fitnah adalah sebentuk ujian yang bisa datang dari Allah dan juga dari manusia. Al-Razi mempunyai tiga pemahaman mengenai pengertian ungkapan tersebut. Menurut Ibn Abbas, yang dimaksud fitnah di atas adalah kekafiran kepada Allah, fitnah dinamakan kekafiran karena kekafiran dapat merusak bumi sehigga menimbulkan kedzaliman dan kekacauan. Kekafiran lebih besar dibanding pembunuhan, karena sikap kufur merupakan dosa yang memberi pelakunya hak mendapat adzab yang kekal, sementara pmbunuhan tidak. Kekafiran juga menarik orangnya keluar dari kesatuan umat, sedangkan pembunuhan tidak. Namun dari rangkaian ayat 191 diketahui bahwa teror, perampasan harta dan tekanan sampai batas yang tidak bisa ditanggung dan memaksa orang untuk keluar dari kampung halamannya dan terlunta-lunta, itulah maksud dari ungkapan di atas. Sebab hal-hal itulah yang mendorong terjadinya perang, yang salah satu akibatnya adalah pembunuhan.

3. Fitnah Bemakna Adzab dan Membakar
Kata fitnah yang bermakna adzab dan membakar seperti dalam penafsiran Qs. al-Dzariyat [51]: 13 sebagai berikut:

   •          

“ (hari pembalasan itu) ialah pada hari ketika mereka diazab di atas api neraka. (Dikatakan kepada mereka): "Rasakanlah azabmu itu. inilah azab yang dulu kamu minta untuk disegerakan."”

Al-Razi menjelaskan kata يفتنون pada ayat di atas diartikan dibakar (يحرقون) dan dimasukkan di atas api (يعرضون على النار) sedangkan kata فتنتكمpada ayat selanjutnya yang berbentuk masydar, ia mengartikan dengan cobaan (الامتحان). Demikian informasi Allah tentang hari pembalasan yang terjadi pada para pembohong yang lalai lagi terkutuk, tenggelam dalam kenikmatan duniawi atau berfoya-foya dan tidak berpikir tentang hakikat hidup.
Makna fitnah yang berarti menyiksa dapat dijumpai dalam sikap Nabi Ibrahim as terhadap keluarganya yang berbeda keyakinan dengan beliau, terdapat suri tauladan dalam beliau berdoa kepada Allah Swt. Sebagaimana dalam Qs. al-Mumtahanah [60]: 5

          •    
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. dan ampunilah kami Ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".

Al-Razi menjelaskan makna fitnah dalam doa Nabi Ibrahim di atas dengan pendapat Ibn Abbas: janganlah engkau memberi kekuasan pada musuh-musuh kami sehingga mereka menyangka dengan keberhasilan dan penyiksaan (عذابا) atas kami bahwa mereka berada dalam kebenaran.
Fitnah bermakna siksaan juga dapat dijumpai pada hubungan antara (Qs. al-Buruj [85]: 10) dengan ayat sebelumnya yang membicarakan dengan kisah para pembuat parit (ashab al-ukhdud) menyiksa orang-orang beriman dengan api yang memiliki bahan bakar dan mereka tidak bertaubat serta menyesali atas kekufuran dan dosa-dosa yang telah mereka perbuat. Perbuatan mereka itu akan mendapat siksaan di neraka jahanam karena kekufuran dan mambakar orang-orang beriman.

4. Fitnah Bermakna Kesesatan dan Kerusakan
Kesesatan menurut istilah adalah berpaling dari jalan yang benar dan lurus, atau lawan dari hidayah. Adapun jenis fitnah berhubungan dengan akidah (keyakinan dan kepercayaan), adalah kaum musyrikin yang mengatakan bahwa mereka memiliki anak dan sekutu. Berikut ayat yang mengancam mereka, Qs. al-Shaffat [37]: 162

        
“Maka Sesungguhnya kamu dan apa-apa yang kamu sembah itu, Sekali-kali tidak dapat menyesatkan (seseorang) terhadap Allah,”

Al-Razi menjelaskan: “Kamu dan apa yang kamu sembah, sekali-kali tidak dapat menyesatkan terhadap Allah kecuali para penghuni neraka yang telah ditentukan dalam pengetahuan-Nya” atau boleh memahaminya dengan “Kamu bersama apa yang kamu sembah sekali-kali tidak dapat mndorong pada jalan kesesatan kecuali orang-orang yang akan masuk neraka jahannam.” Menurutnya ayat tersebut mengisyaratkan bahwa perkataan orang-orang musyrik dan keadaan apa yang mereka sembah tidak ada pengaruhya sedikitpun terhadap kesesatan. Kata fitnah dalam bentuk jamak fatinin berarti membawa atau mendorong orang ikut tersesat atau masuk neraka dan merusak manusia supaya tersesat dari jalan Allah.
Fitnah bermakna kesesatan ada yang tertuju kepada orang-orang Yahudi Madinah yang telah dengan sengaja mengucapkan atau membacakan ayat-ayat Taurat secara keliru kepada Nabi Muhammad Saw, dan kaum muslimin untuk tujuan-tujuan tertentu. Egoisme telah mengalahkan kejujuran mereka, namun bukan berarti mereka telah berani mengubah teks-yeks tertulis mereka, jika mereka memang memilikinya. Al-Qur’an mengungkakan hal tersebut dalam Qs. al-Maidah [5]: 41

           •                                                                
“Hari rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka:"Kami Telah beriman", padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka merobah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. mereka mengatakan: "Jika diberikan Ini (yang sudah di robah-robah oleh mereka) kepada kamu, Maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan Ini Maka hati-hatilah". barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, Maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”


Setelah Allah membuka kejelekan-kejelekan orang-orang Yahudi tersebut, Allah berfirman ” Barang siapa Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatu pun (yang datang) dari Allah.” (Qs. al-Maidah [5]: 41). Maksudnya fitnah adalah berbagai macam kerusakan atau berbagai macam kekufuran yang telah diungkapkan oleh Allah, jadi fitnah di sini berarti kekufuran, kesesatan dan kerusakan.

5. Fitnah Bermakna Kekacauan dan Menggelincirkan
Fitnah yang bermakna kekacauan dan mengelincirkan seperti dalam penafsiran Qs. At-Taubah [9]: 47 sebagai berikut:

   •               
“Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antara kamu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. dan Allah mengetahui orang-orang yang zalim.”

Al-Razi menjelaskan bahwa orang munafik seandainya ikut berperang, mereka sama sekali tidak membawa manfaat, sebaliknya malah menimbulkan macam-macam kerusakan, antara lain: pertama, khabal yakni membuat pikiran kacau, keburukan, kerusakan, kebodohan, tipu daya, kesesatan, penghianatan. Dan kedua, fitnah yakni perceraian, kkacauan, kebingunan dan gangguan.
Fitnah juga disebutkan pada ayat selanjutnya at-Taubah [9]: 48 bermaksud membuka kedok kaum munafikdan membongkar rahasia hati mereka, dengan memperingatkan Nabi Saw, dan kaum muslimin tentang niat dan upaya busuk mereka orang-orang munafik sebelum peristiwa tabuk.

                
“Sesungguhnya dari dahulupun mereka Telah mencari-cari kekacauan dan mereka mengatur pelbagai macam tipu daya untuk (merusakkan)mu, hingga datanglah kebenaran (pertolongan Allah) dan menanglah agama Allah, padahal mereka tidak menyukainya.”

Pada ayat lain fitnah bermakna “menggelincirkan” berkaitan dengan orang musyrik yang buta hati mereka, begitu jelas tanda-tanda kekuasan Allah yang menjadi nikmat bagi kehidupan mereka, tapi mereka tidak mau membuka hatinya. Untuk itu Allah memperingatkan agar berhati-hati menghadapi kebutaan hati mereka. Disebutkan dalam Qs. Al-isra’ [17]: 73

              
“Dan Sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang Telah kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentu|ah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia.”

Dalam hal ini al-Razi mengambil riwayat dari Ibnu Abas bahwa ayat ini turun menyangkut salah satu suku terkemuka masyarakat Mekkah, yakni Tsaqif. Mereka menyatakan kesediaan mereka memelukagama Islam jika Nabi Muhammad Saw menjadikan daerah mereka sebagai tanah haram sebagaimana halnya Mekkah, dan beberapa permintaan lain yang hendaknya Nabi Saw, sampaikan bahwa itu adalah perintah Allah. Selanjutnya al-Razi memahami (ليفتنونك) berbentuk fi’il mudari’, terambil dari kata (الفتن) dan (الفتون) dalam arti menergrlincirkan dan memalingkan menyangkut al-Qur’an. Mereka menginginkan Nabi mengatakan sesuata sesuai kehendak nafsu mereka. Tapi nabi Saw tidk terjerumus tipu daya mereka, karena Allah melindungi dan memelihara beliau.

6. Fitnah Bermakna Gila atau Kesesatan
Gila dalam bahasa Indonesia mempunyai arti sakit ingatan, kurang beres ingatannya, sakit jiwa, syarafnya terganggu dan pikirannya tidak normal. Dalam al-Qur’an kata gila secara langsung menggunakan term (مجنون). Adapun secara tidak langsung menggunakan term (مفتون) yang berbentuk isim maf’ul yang menunjukkan arti isim masydar. Kata ini hanya dapat ditemukan dalam satu ayat al-Qur’an yaitu Qs. al-Qalam [68]: 6
  
“Siapa di antara kamu yang gila.”
Ayat ini sebelumnya berhubungan dengan kaum musyrikin menuduh Nabi Muhammad Saw, gila karena menyampaikan ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung kecaman terhadap kepercayaan yang jauh dari kebenaran.
Sebelum menafsirkan al-Razi mengatakan bahwa huruf ba yang tercantum dalam ayat di atas adalah huruf ba silah zaidah (ba sebatas penghubung dan tambahan saja) yang tidak mempunyai implikasi makna. Pendapatnya itu diserupakan dengan firman Allah: تنبت بالدهن (yang menghasilkan minyak) Qs. al-Mukminun [23]: 20 dan selanjutnya didukung oleh syair klasik, tulisannya juga mengatakan bahwa (ب) ba bisa diartikan (فى أي) sehigga yang dimaksud di sini adalah siapakah diantara dua golongan itu yang gila, golonganmu (Muhammad) ataukah golongan mereka (orang-orang kafir). Ada lagi makna lain menurut al-Razi adalah (بأيهم شيطان) nanti mereka akan melihat golongan manakah yang terkena setan sehingga menjadi gila dan kacau pikirannya. Di sinilah al-Razi mengatakan fitnah bermakna kesetanan.

D. Macam-macam Fitnah
1. Fitnah Yahudi dan Nasrani
Fitnah yang dihembuskan musuh-musuh Allah, Yahudi dan Nasrani, senantiasa ada di sepanjang zaman. Hal ini telah di sinyalir dalam al-Qur’an, Allah berfirman dalam Qs. al-Baqarah [2]:120

     •             •                
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”

Fitnah ini akan terus menerus menguji kaum muslimin kapan saja dan dimanapun mereka berada. Tujuan mereka adalah menceburkan kaum muslimin dalam kubangan kehinaan menjauhkan dari al-Qur’an dan as-Sunnah, serta menanamkan dalam benak kaum muslimin pemikiran-pemikiran dan gaya hidup yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Tidaklah mengherankan kalau sebagian kaum muslimin yang tidak berpijak di atas dasar (aqidah) yang kuat akan terombang-ambing oleh derasnya fitnah ini. Suatu contoh, kaum muslimin saat ini telah mengikuti langkah-langkah Yahudi yang dikemas dalam bentuk modernisasi. Salah satunya adalah fashion (gaya pakaian) yang tidak senonoh. Seakan-akan kita dipaksa mengikuti trend yang ada dengan dalih modernisasi. Sekali saja kita coba melawan arus, dengan berupaya tetap tegar di atas agama Allah dengan mengenakan pakaian islami (pakaian yang menutup aurat), spontan kita akan dijuluki norak, kampungan, ketinggalan zaman dan sebagainya. Sudah banyak orang Islam yang tidak memiliki pendirian menjadi korban, mereka tersesat arus modernisasi buatan orang kafir.
Rasulullah Saw. bersabda yang artinya: “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sampai sekiranya mereka masuk pada lubang biawak pun pastilah kalian akan mengikuti mereka. Kami (para sahabat) bertanya, ”Wahai Rasulullah, apakah mereka itu dari golongan Yahudi dan NAsrani?” Rasulullah menjawab, “Kalau bukan mereka siapa lagi..”

Hadits ini memberi gambaran, begitu rentannya kondisi kaum muslimin di akhir zaman. Umat Islam telah banyak yang mengikuti langkah Yahudi dan Nasrani. Yang lebih tragis lagi, mereka menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai kiblat dalam segala aspek kehidupan. Sebagai umat Islam kita berlindung kepada Allah dari makar serta tipu daya musuh-musuh Allah.

2. Fitnah Kebodohan dan Kemaksiatan
Kebodohan dan kemaksiatan akan menjadi ujian dan cobaan bagi umat Islam yang harus diwaspadai. Lebih-lebih pada zaman yang telah tua ini, dimana kemaksiatan telah merajalela.
Rasulullah Saw. bersabda:
ان بين يدي الساعة لأيما ينزل فيها الجهل ويرفع فيها العلم ويكثر فيها الهرج
“Sesungguhnya mendekati datangnya hari kiamat benar-benar ada hari yang di dalamnya tumbuh kebodohan, diangkatnya ilmu, dan banyaknya pembunuhan.”
Faedah yang dapat kita ambil dari hadits di atas antara lain: Pertama, tatkala ilmu telah diangkat dan diwafatkannya para ulama. Dengan berkurangnya ulama itulah akan bermunculan orang-orang bodoh yang mengaku ulama. Kedua, sebagian ulama member makna “al-Harj” pada hadits di atas dengan banyaknya pembunuhan, ikhtilath, fitnah di akhir zaman, banyaknya kedustaan dan tiadanya perhatian serius terhadap suatu hal.

3. Fitnah Diabaikannya Amanah (Anak)
Anak merupakan sebuah amanah yang diberikan Allah kepada manusia untuk dipelihara dan dijaga sebaik mungkin. Dimana suatu saat nanti akan dikembalikan kepada yang telah memberikan amanah tersebut yakni Allah Swt. Sebagai orang tua yang diberi amanah, maka wajib memenuhi kebutuhan anak selama anak tersebut masih menjadi tanggungannya, memberikan yang terbaik kepada anak-anaknya pendidikan, pangan, kebutuhan sehari-hari dan sebagainya. Orang tua juga harus mempersiapkan anak-anaknya menjadi anak yang baik, sholih-shilihah, dan berbakti kepada orang tua bangsa dan Negara.
Namun tak sedikit orang tua yang tidak sukses dalam menjaga amanahnya, disamping tak sedikit pula orang tua yang sukses mendidik anaknya menjadi anak yang baik. Sehingga muncullah generasi-generasi yang menyimpang dari syari’at agama maupun aturan Negara. Ini merupakan fitnah diabaikannya amanah yang harus diwaspadai pada saat ini.
Rasulullah Saw. bersabda, yang artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah Saw. bersabda: “Jika amanah telah disia-siakan maka tunggulah hari kiamat”. Abu Hurairah bertanya, “Bagaimana (bentuk) menyia-nyiakan amanah?” Beliau menjawab,”Jika suatu perkara diserahkan kepada bukan pada ahlinya maka tunggulah kehancurannya”. (HR, Bukhori)

Cukuplah bagi kita hadits di atas untuk mengetahui bagaimana fitnah dalam bentuk amanah ini telah disia-siakan beguti saja. Kita memohon kepada Allah agar dijadikan hamba-hamba yang dapat memikul serta mengemban amanah dengan baik.

4. Fitnah Harta
Fitnah harta termasuk bentuk fitnah yang sangat dasyat yang dikhawatirkan Rasulullah Saw. Pada saat dimana dakwah sudah memasuki wilayah Negara, maka fitnah harus semakin diwaspadai. Karena pintu-pintu perbendaharaan harta sudah sedemikian rupa terbuka lebar. Kegemaran main dan beraktifitas di hotel, berganti-ganti mobil dan membeli mobil mewah, berlomba-lomba membeli atau mambuat rumah yang mewah dan berlebih-lebihan dengan perabot rumah tangga, lebih asyik bertemu dengan teman yang memiliki level sama dan para pejabat lainnya adalah beberapa fenomena fitnah harta.
Yang lebih parah lagi fitnah harta tidak hanya banyak diderita oleh para pejabat saja, tetapi banyak juga para aktivis dakwah yang terserang oleh penyakit fitnah harta ini. Banyak diantara mereka yang menjadikan dakwah sebagai dagangan pokok. Segala sesuatu mengatasnamakan dakwah. Berbuat untuk dan atas nama dakwah, menerima hadiah atas nama dakwah, menerima dana dan sumbangan atas nama dakwah. Mendekat kepada penguasa dan menjilat pada mereka atas nama dakwah dan sebagainya.
Dalam konteks ini Rasulullah Saw. dan para sahabatnya pernah ditegur keras oleh Allah Swt. karena memilih mendapatkan ghonimah dan tawanan perang, padahal itu semua dengan pertimbangan dakwah dan bukan atas nama dakwah. Kejadian ini termaktub dalam al-Qur’an Qs. al-Anfal [8]: 67-68,
                                 
67. Tidak patut, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
68. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang Telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar Karena tebusan yang kamu ambil.

5. Fitnah Wanita
Dasyatnya fitnah wanita telah disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Bahkan surat Ali Imran [3]: 14 menempatkan wanita sebagai urutan pertama yang banyak dicintai oleh manusia dan pada saat yang sama menjadi fitnah yang paling berbahaya bagi manusia. Rasulullah Saw, bersabda yang artinya: “Tidaklah aku tinggalkan fitnah yang lebih besar bagi kaum lelaki melebihi fitnah wanita”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Fitnah wanita dapat menimpa siapa saja dari seluruh tingkatan level manusia, baik dari kalangan pemimpin maupun rakyat biasa. Sejarah telah membuktikan kenyataan tersebut. Banyak para pemimpin dunia yang jatuh karena faktor fitnah wanita. Bahkan salah satu hadits yang familier dalam Islam, yaitu hadits tentang niat, sebab keluarnya karena sebab seorang yang hijrah ke Madinah hanya karena wanita yang ingin dinikahi juga ikut berhijrah.
Banyak sekali bentuk fitnah wanita, jika para wanita itu istri maka banyakpara istri yang memalingkan suaminya dari ibadah, dakwah dan amal shalih. Jika wanita itu bukan sebagai istrinya, maka fitnah dapat berbentuk persilingkuhan dan perzinaan. Fitnah inilah yang sangat dasyat yang menimpa banyak umat Islam.


E. Penutup
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa lafadz “fitnah” mempunyai beragam makna yaitu: bisa berarti ujian dan cobaan, kufur dan syirik, adzab dan membakar, kerusakan dan kesesatan, kekacauan dan menggelincirkan, gila dan kesesatan. Sebelum mengalami perkembangan makna fitnah diartikan sebagai ujian dan cobaan, atau bencana apapun (termasuk kecaman batin) yang hakekatnya adalah ujian.
Fitnah yang dialami umat manusia bermacam-macam diantaranya, fitnah Yahudi dan Nasrani, yang terus menerus menguji kaum muslimin dimana pun dan kapan pun. Fitnah kebodohan dan kemaksiatan, fitnah diabaikannya amanah, contohnya adalah seorang anak, dimana ia merupakan sebuah amanah yang seringkali diabaikan oleh manusia. Fitnah harta, yang bisa saja terjadi pada manusia dalam segala tingkatan, kemudian fitnah wanita, dimana fitnah ini merupakan fitnah yang dasyat bagi kaum laki-laki maupun wanita sendiri. Kesemua jenis-jenis fitnah yang telah dipaparkan di atas sangat berbahaya dan harus diwaspadai bagi seluruh umat Islam khususnya.
Perlu diketahui bahwa fitnah tidak hanya berupa hal-hal yang negatif saja, Fitnah juga bisa berupa nikmat yang bisa membuat manusia lalai apabila mereka tidak sadar bahwa semua itu adalah sebuah ujian. Namun dalam makalah ini penulis lebih banyak mengulas tentang bahayanya fitnah yang berupa hal-hal negatif.
Akhirnya, demikianlah pemaparan mengenai tafsir lafadz fitnah yang dapat penulis sampaikan. Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Namun setidaknya penulis telah berusaha untuk memberikan uraian yang jelas supaya mudah dipahami dan dimengerti. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnan penyajian makalah ini.

Wallahu A’lam bi ash-Showab.





DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun. Ensiklopedi al-Qur’an Dalam Dunia Islam Modern (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 2005)
Al-Hanafi, Abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Ali al-Husaini al-Jurjani. Al-Ta’rifat (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyyah, t.t.), Cet 2.
Abu Faris, Abdul Qadir. Ujian, Cobaan Fitnah dalam Da’wah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992).
Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 318.
Shihab, Quraish. (dkk). Ensiklopedia al-Qur’an; Kajian Kosa Kata (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet 1, .
Al-Razi, al-Tafsir al-Kabir al-Gaib…, (CD Room Maktabah Syamilah)
Al-Asfahani, Al-Ragib. Mufradat Alfadz al-Qur’an (Damaskus: Dar al-Qalam, 2002), cet ke-3.
Al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim. Shahih Bukhari. CD Room Maktabah Syamilah.
Al-Naisaburi, Muslim ibn al-Hajjaj. Shahih Muslim. CD Room Maktabah Syamilah.
Al-Asqalani, ibn Hajar. Fathul Bari, Syarah Bukhari, babFitan. CD Room Maktabah Syamilah.
 

Sabtu, 02 Maret 2013

Israf

Kata israf berasal dari bahasa arab yang artinya melampaui batas. Orang yang berbuat isrof disebut musrif. Bentuk jamaknya adalah musrifin atau musrifun. Yang dimaksud dengan israf di sini ialah mempergunakan sesuatu yang melewati batas-batas yang patut menurut ajaran Allah SWT Israf termasuk perbuatan tercela, yang mendatangkan kerugian dan tidak disenangi oleh Allah. Allah swt berfirman: (AI-An'am : 141) وَهُوَ الَّذِي أَنشَأَ جَنَّاتٍ مَّعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفاً أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهاً وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُواْ مِن ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُواْ حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ Artinya : Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di had memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. ( QS. Al An’am : 141 ) Israf yang harus dijauhi oleh setiap muslim dan muslimat terdapat dalam berbagai perbuatan seperti : 1. Makan, minum dan berpakaian Allah SWT berfirman dalam QS. Al-A’raf : 31 Artinya : Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid[534], Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS Al-A’raf : 31) Makan dan minum adalah kebutuhan dan naluri manusia sebagai makhluk biologis, dengan makan dan minum yang seimbang ( halalah toyiban ) kita mendapat asupan energi baru untuk meningkatkan kualitas hidup dan beraktifitas serta menjalankan rutinitas kodratnya sebagai makhluk Allah. Allah swt menciptakan alam semesta ini dengan disain yang sangat sempurna semuanya diperuntukkan bagi kebutuhan hidup manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai hamba Allah Alam akan selalu menyediakan kebutuhan makan dan minum manusia asal manusia tidak berbuat aniaya (zalim) dengan cara melampaui batas. Islam mensyaratkan 2 hal kepada manusia dalam memenuhi kebutuhan makan dan minumnya, yaitu : 1) Halalan : aksudnya makanan tersebut harus sesuai dengan rekomendasi syara’ 2) Toyiban : artinya makanan tersebut memenuhi standar kebutuhan gizi yang seimbang bagi kehidupan biologis manusia, bukan sekedar memenuhi nafsu dan tidak mengeksploitasi alam secara membabi buta Seseorang dianggap berlebihan dalam makan dan minum apabila melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan melampaui batas makanan dan minuman yang dihalalkan serta didapat dengan cara yang tidak diridloi oleh Allah. Berlebihan dalam makan dan minum termasuk perilaku tercela dan dapat mendatangkan kerugian pada pelakunya dan orang lain. Kerugian itu misalnya, malas bekerja, malas belajar, terjangkit suatu penyakit dan mudah membuang-buang waktu serta dapat merusak sumber-sumber bahan makanan dan alam yang merugikan orang lain. Seseorang dianggap berlebihan dalam berpakaian apabila melampaui batas-batas yang dihalalkan syara'. Misalnya berpakaian serba mewah tatkala berkumpul dengan orang-orang miskin sehingga menimbulkan rasa sombong bagi pemakainya dan menimbulkan rasa iri bagi yang memandangnya, berpakaian melampaui batas kewajaran dan kesopanan dengan membuka aurat atau mempertontonkan keindahan tubuh bagi wanita, pergi ke masjid dengan pakaian warna-warni dan bergambar yang indah sehingga orang tidak khusyu beribadah ketika memandangnya. Namun ketika memakai pakaian yang bagus ke masjid bahkan dianjurkan namun tetap tidak berlebihan seperti pada ayat Al-A'raf 31. 2. Membelanjakan harta Israf dalam membelanjakan harta maksudnya sikap menghambur-hamburkan harta benda (boros) untuk hal-hal yang tidak diridhai Allah dan tidak bermanfaat serta membelanjakan melebihi kebutuhan dan penghasilannya atau berfoya-foya dalam hidup. Israf dalam membelanjakan harta seperti itu dilarang karena akan mendatangkan kerugian. Allah berfirman dalam Q.S. AI-Isra' : 26-27. Artinya:” Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS Al Isra’ : 26-27) Pemboros-pemboros itu dianggap saudaranya setan, karena mereka itu selalu mengikuti kemauan setan untuk melakukan perbuatan yang merugikan bagi diri mereka sendiri dan mungkin bagi orang lain. Perbuatan itu misalnya seperti : 1). Menghambur-hamburkan uang untuk perjudian, bermabuk-mabukan, prostitusi dan lain-lain. 2). Membelanjakan harta di luar kebutuhan dan kemampuannya 3). Menghalalkan cara untuk mendapatkan harta seperti suap dan korupsi. Setiap muslim dilarang boros sebaliknya disuruh untuk hidup sederhana. Sikap boros dan kikir merupakan hal yang tercela sedangkan hidup hemat, sederhana, dan bersahaja merupakan akhlak mulia yang harus dimiliki oleh setiap muslim muslimat. Seperti pada Surat Al-Furqan 67 Artinya : dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS Al Furqan :67) Islam tidak melarang umtnya untuk memiliki harta yang banyak, bahkan Islam menyuruh umatnya untuk kaya. Hanya saja dianjurkan untuk hidup tetap sederhana. Selain hartanya yang banyak itu digunakan untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya, juga diinfakkan ke jalan Allah dengan memajukan Islam di bidang ekonomi, sosial, pendidikan dan dakwah serta membantu orang fakir dan miskin. Hal-hal yang menjadi sebab timbulnya israf dalah sebagai berikut : 1). Keluarga. Bisa jadi karena pada saat kecil dulu ia dalam kekurangan, maka saat sudah berkeluarga dan mapan maka ia tidak ingin anaknya seperti ia dulu, sehingga akan memanjakan anak dengan berlebihan. Bisa juga karena kompensasi anak ditinggal seharian dirumah sehingga apa saja maunya dituruti. Itu yang berasal dari anak, mungkin pula suami, saudara, kakak, adik, dll yang mendorong kita berbuat israf. 2). Kelapangan rezeki setelah ditimpa kesulitan ekonomi. Dengan adanya kelapangan rezeki membuat kita mengarah pada israf. Nabi bersabda, "Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku takutkan atas kalian. Melainkan yang aku takutkan atas kalian adalah ketika dilapangkan atas kalian dunia seperti pernah dilapangkan atas kaum sebelum kalian. Lalu kalian berlomba-lomba dalam urusan dunia itu dan dunia itupun akhirnya membinasakan kalian sebagaimana ia membinasakan mereka" (HR Bukahari dan Muslim). 3). Berteman dengan orang-orang yang biasa israf 4). Lalai terhadap kedahsyatan keadaan hari kiamat 5). Lupa terhadap realitas kehidupan manusia umumnya dan kaum muslimin khususnya. Hal-hal yang harus kita lakukan untuk menghindari israf ialah : 1). Merenungkan dampak negatif dari israf, sehingga ada semangat untuk menghindarinya 2). Berjanji pada diri sendiri dengan tekad membara untuk melawan israf dengan memparbanyak amal shalih 3). Merenungkan secara mendalam sabda Nabi yang mengancam pelaku israf 4). Membaca dengan seksama sejarah hidup salafus shalih dan kesederhanaan mereka 5). Selalu memikirkan kematian dan peristiwa setelah kematia 6). Memohon perlindungan kepada Allah SWT dari penyakit israf